Permasalahan lingkungan merupakan permasalahan yang tak kunjung usai dan terus menghantui kehidupan manusia. Seiring perkembangan teknologi, kehidupan manusia terus mengalami kemajuan dan kemudahan, tetapi perhatian akan kemudahan hal tersebut justru mengurangi perhatian kita terhadap lingkungan. Kehidupan manusia saat ini tak bisa dipungkiri masih bergantung pada penggunaan olahan minyak mentah. Mulai dari penggunaannya pada bensin, gas LPG, avtur, dan aspal. Penggunaannya yang sangat luas ini tentu bersumber dari tambang minyak di laut lepas yang seluruh dunia.
Tambang minyak di laut lepas memiliki risiko tinggi dan dampak bagi lingkungan. Salah satunya ialah kebocoran minyak di laut lepas. Hal ini tentu berdampak bagi organisme-organisme dan biota laut. Beberapa peristiwa kebocoran besar seperti Teluk Persia (1991), Deepwater Horizon (2010), Kansas (2022), dan masih banyak kasus-kasus lainnya. Di Indonesia pun juga terdapat peristiwa serupa seperti Teluk Balikpapan (2018), Karawang (2019), dan Kepulauan Seribu (2020). Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan mengingat banyaknya kasus yang terjadi, dan besarnya dampak bagi lingkungan hidup.
Pada umumnya, penanggulangan tumpahan minyak di perairan membutuhkan waktu yang sangat lama bahkan bertahun-tahun untuk kembali ke keadaan normal dan menghabiskan banyak biaya dan tenaga. Akan tetapi, terobosan menggunakan pendekatan grey technology atau bioteknologi bidang lingkungan dapat menjawab permasalahan tersebut di masa kini dan kedepannya. Pemanfaatan bioteknologi ini dinilai lebih ramah lingkungan dan memakan biaya yang relatif murah.
Penelitian untuk membuktikan hal ini telah dilakukan pada air laut Deepwater Horizon yang sudah tercemar tumpahan minyak dan juga mengandung Corexit. Dalam proses bioremediasi ini, bakteri-bakteri dianalisis dari waktu ke waktu untuk mengetahui kelimpahan total, kepadatan pengurai hidrokarbon aromatik polisiklik dan alkana, serta komposisi komunitas melalui pyrosequencing. Dari isolasi ini sinar matahari memiliki dampak pada keanekaragaman bakteri yang ada, yaitu mengurangi beberapa varian tertentu tetapi juga merupakan pendorong utama perubahan struktur bakteri.
Diketahui bahwa sinar matahari mengenai air yang mengandung dispersan corexit meningkatkan kelimpahan relatif Alteromonas, Marinobacter, Labrenzia, Sandarakinotalea, Bartonella, dan Halomonas. Beberapa bakteri tersebut merupakan bakteri hidrokarbonoklastik atau petrofilik, yakni mikroorganisme yang memanfaatkan hidrokarbon dalam petroleum sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Bakteri-bakteri yang ada ini berupa dalam banyak bentuk yang sama-sama mendegradasi petroleum melalui cara anaerob dan dilakukan oleh bakteri-bakteri pereduksi sulfat dan nitrat. Radiasi ultraviolet (UV) dari cahaya matahari mempengaruhi struktur komunitas mikroba, terutama ketika sejumlah besar bahan organik teroksidasi. Bakteri pendegradasi tersebut bertambah jumlah akibat fotodegradasi oleh komponen inhibitor corexit.
Dengan adanya perkembangan dan penelitian-penelitian lebih mendalam tentang bioremediasi seperti ini tentu akan lebih menguntungkan kita dalam memperbaiki lingkungan yang rusak menjadi alami kembali. Bioremediasi ini dilakukan dalam 4 tahap yakni treatability study dan site characteristic, persiapan dan proses bioremediasi, sampling dan monitoring, dan post treatment (revegetasi). Langkah ini dinilai efektif karena sifatnya yang bisa lebih terkontrol dan lebih murah serta alami. Penelitian dan perkembangan lebih lanjut masih banyak dilakukan untuk memaksimalkan kerja bioremediasi dalam memulihkan ekosistem laut akibat tumpahan minyak.
By: Michael Putra Fenda-XII IPA